Menikmati angin welirang : Catatan langkah Atap Langit Senja
Jalur awal di kawasan Tahura Raden Soerjo.
Aku melangkah pelan dari Tretes, Pasuruan. Pagi sekali saat matahari masih mengintip belum keluar, hutan di kiri-kanan terasa seperti lorong sunyi yang membukakan gerbang ke dunia lain. Tiket yang kubayar di pos Tahura Raden Soerjo hanya Rp20.000, tapi perjalanan ini lebih dari sekadar angka—ia adalah undangan untuk berbicara dengan diriku sendiri.
Sabana Lembah Kidang, tempat banyak pendaki mendirikan tenda.
Setiap kilometer yang kutempuh adalah babak baru: hutan tropis yang basah, deretan pinus yang tegak, lalu sabana luas bernama Lembah Kidang. Di sinilah angin membawa aroma rumput, dan langit terasa lebih dekat dari kepalaku. Aku sempat berhenti, membiarkan mata merekam warna hijau yang akan berubah menjadi batu dan belerang di atas sana.
Bebatuan dan tanjakan tajam mendekati area kawah.
Perjalanan ke puncak Welirang tak pernah sepenuhnya mudah. Jalur 15–20 kilometer ini menguji kekuatan lutut dan napas. Di beberapa titik, bebatuan licin memaksa langkah lebih berhati-hati. Aroma belerang perlahan menyelinap, tanda kawah sedang menunggu kami.
Kawah Welirang dengan asap putih yang terus mengepul.
Saat tiba di puncak 3.156 mdpl, waktu terasa melambat. Asap putih dari kawah menari bersama kabut, sementara Arjuno berdiri gagah di kejauhan. Semua langkah, keringat, dan keluhan mendadak berubah menjadi kebanggaan yang sederhana.
Dalam perjalanan turun, aku singgah di pemandian air panas Padusan. Air hangatnya seperti pelukan yang menenangkan otot yang lelah. Sesekali aku juga berhenti di Air Terjun Watu Gedek, mendengarkan air jatuh seperti kalimat yang menutup bab hari ini.
Welirang bukan sekadar gunung bagiku. Ia guru yang diam-diam menunjukkan arti ketekunan, kesabaran, dan penghormatan terhadap alam. Setiap langkah adalah percakapan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mau mendengar.

Komentar
Posting Komentar